Hai, namaku
Daniella Rossieta O’Delle. Aku adalah anak paling bungsu dari 3 bersaudara.
Sejak dari kecil, aku di didik untuk menjadi seorang lelaki karena ayahku tidak
menginginkan kehadiran anak perempuan. Saat perang dunia ke – 2. Para tentara
Inggris memindahkan aku, ibu dan kakak-kakakku ke tempat pengungsian. Sementara
ayah, dia dipaksa mengikuti perang.
Aku hidup
dengan kondisi yang telah terdidik untuk menjadi seorang lelaki. Aku di ajar
cara berburu, memancing, berkelahi dan gayaku tergolong sangat jauh dari
Genderku. Aku sangat risih bila ibuku memintaku mengunakan gaun atau hal
semacamnya. Aku merasa tidak nyaman. Aku memilih mengunakan celana panajng atau
pendek saja. Sejak saat itu aku merasa, aku seharusnya tidak di lahirkan
sebagai seorang perempuan.
Beberapa tahun
kemudian, tempat pengungsian kami di bom oleh musuh. Dan tragedi bom itu,
menewaskan ibuku dan kakak keduaku. Kini aku hidup bersama kakak pertama ku.
Sungguh di sayangkan, kakak ku ini semakin hari semakin mengada-ngada. Aku didik
untuk menjadi lelaki agar bisa membantunya. Rambutku dipotong bob, dia juga
membuang baju – baju perempuan yang ibuku jahit dan belikan bagiku. Dia hanya
memberikanku baju bekasnya. “kamu mau jadi apa jika mereka mengetahui kamu
seorang wanita ?. kamu tidak pantas dijadikan wanita, jika kamu ingin hidup
berubahlah dari sekarang. Ikuti keinginanku” singgung kakak ku dan pergi
meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Pada saat itu, pemerintah berbaik hati memulangkan ayahku karena ibu
kami yang telah meninggal. Barangkali, mereka berpikir siapakah yang akan
menghidupkan keluarga kami ? dan itu adalah keuntungan bagiku.
Ayahku
memanggilku Daniel. Dia tidak setujuh memanggilku Daniella, Ella, atau Rossie.
Semenjak ayahku pulang dari medan tempur. Aku dipaksa bekerja sebagai buruh,
aku mengangkat barang di stasiun kereta api dengan upah yang pas – pasan.
Sementara jika kakakku pulang, ia merampas seluruh uang itu untuk berfoya-foya.
Sementara ayah, bekerja di sebagai penjual ikan dengan upah yang terbilang sedikit
dan malah ayah selalu pulang hanya membawa ikan dan jarang sekali membawa
pulang upah. Padahal, aku sangat ingin bersekolah. “sudahlah Daniel, kamu
berbeda dengan teman-temanmu. Kamu tidak perlu sekolah. Ayah akan membelikanmu
buku saja, ayah yakin kamu bisa belajar di rumah” ucap ayah kepadaku yang
selalu menenangkan hatiku. “baiklah,… aku bisa belajar sendiri. Aku pasti bisa”
jawabku dengan mata sedikit berkaca-kaca dan raut mukaku pun kecewa.
Sudah berhari
– hari aku bekerja dan bekerja namun, kakakku selalu saja berulah. Saat ulang
Tahunku. Dia datang membawa penyakit bagi keluarga, dia memukuli ayah dengan
besi karena tiada orang yang memberikannya uang. Hal itu membuatku membencinya,
aku sedang ulang tahun yang ke-7 bisakah dia memberikanku senyum kecil. Dan
jawabannya tidak. Dia bagaikan srigala di tengah kota yang liar, bagai kuda
lepas kandang. Aku semakin emosi melihat hal itu. Ohh yah,.. saat ulang tahun
itu pula, ayah membelikanku buku hitungan seperti fisika, matematika dan
astronomi. Saat umur itu pula, aku selalu ke sekolah dasar dekat tempat tinggal
kami dan mulai mengintip di jendala. Aku berharap dapat mengenal huruf dari hal
itu.
Hari demi hari
aku lewati dengan bekerja, jika ada waktu luang aku akan berkunjung ke sekolah
dasar itu untuk melihat cara mereka mengenal huruf. Pada saat itu, sekolah
adaalh hal yang sangat mahal. Ayahku saja tidak sampai sarjana, dia hanya
tamatan sekolah menengah atas. Padahal, ayah orang yang tergolong pintar. Selang 6 bulan kemudian, aku mulai bisa membaca.
Padahal, tiada orang di rumah yang bisa mengajariku. Aku berusaha sendiri. Aku
mencari ilmu kesana-kemari, hingga aku mengerti akan hal-hal itu.
Saat usiaku 9
tahun, ayah meninggal dan tetangga kami membawaku ke panti asuhan khusus anak
perempuan yang ada di kotaku. Dan pada saat itu, aku mengenal sekolah. Menurut
ibu panti, seharusnya aku sudah kelas 5 sekolah dasar atau primer school. Tapi
apa boleh buat, keluarga kami dahulu ekonominya sangat pas-pasan, dan tidak
memungkinkan aku sekolah. Akhirnya, aku mengikuti ujian demi ujian agar aku
langsung masuk ke kelas 5. Bagiku, ujian itu tidaklah sulit. Bagiku, itu tiada
apa-apanya. Mungkin berkat buku-buku yang ayah belikan padaku. Sangatlah
mengheranakan, hasil ujianku sanagt baik dan memungkinkanku untuk naik ke kelas
5. Aku sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang di
berikannya. Namun, tiada seorangpun di panti asuhan yang ingin berteman
denganku. Mereka berpendapat aku berbeda dari mereka. Aku berusaha untuk
berbiasa-biasa saja tentang hal itu, aku berusaha stabil, tenang dan normal.
Saat aku
memasuki jenjang sekolah menengah atas, tepatnya saat aku kelas 1. Salah satu
instansi pesawat luar angakas mencariku de sekolah. Mereka mewawancariku.
“apakah wanita
dapat menjadi Astronot ?” Tanya mereka
“kurasa, tidak” jawabku
“kami
akan mewujudkan mimpimu itu, dan menjadikan wanita sebagai Astronot”
“baiklah”
Aku
hanya bisa sekedar menjawab dengan biasa saja karena bagiku, itu hal yang
sedikit gila dan aneh. Bagiku, wanita
Astronot ? apakah mereka gila ? hal itu tidak akan ada.
Seminggu
kemudian, instansi tersebut datang menjemputku dipanti asuhan, mereka memintaku
untuk tidak membawa apapun kecuali baju untuk digunakan dan kacamata yang
selalu setia menempel di mataku.
Awal
pelatihan kami di instansi tersebut, kami di berikan soal-soal tentang fisika,
astronomi dan matematika. Bagi wanita lain, hal itu susah. Ada diantara mereka
membawa contekan. Hasilnya, mereka di keluarkan dalam test pertama mereka.
Pelatihan kedua kami, kami di uji kemampuan fisik kami. Kami disuruh berlari
selama berjam-jam. Wanita lainnya hanay dapat berlari selama 30 menit sedangkan
aku menhabiskannya dalam 2,45 jam dan terkadang 3 jam pun aku tempuh. Pelatihan
ketiga kami, kami di berikan tontonan 3D, mereka memberikanku lensa mata.
Wanita lain saat menonoton film itu dalam beebrapa menit saja sudah muntah.
Sedangkan aku tidak, aku dapat bertahan sampai film itu dimatikan. Rasanya, itu
adalah hal baru yang dapat aku tonton dan baru pertama kalinya aku melihat hal
seindah itu. Gambarnya begitu terlihat asli dan rasanya dapat disentuh oleh
jemari. Kasehatan kami dicek secara berkala. Dan menurut dokter aku adalal
pasien yang sangat baik kondisi fisik, mental dan memiliki control emosi yang
baik. Dan aku rasa itu keuntungan bagiku barangkali, aku memang memiliki
cita-cita menjadi astronot dengan masa depan yang tergolong sangat amat cerah.
--- Bersambung----