Friday, 4 March 2016

between private man and woman



Hai, namaku Daniella Rossieta O’Delle. Aku adalah anak paling bungsu dari 3 bersaudara. Sejak dari kecil, aku di didik untuk menjadi seorang lelaki karena ayahku tidak menginginkan kehadiran anak perempuan. Saat perang dunia ke – 2. Para tentara Inggris memindahkan aku, ibu dan kakak-kakakku ke tempat pengungsian. Sementara ayah, dia dipaksa mengikuti perang.
Aku hidup dengan kondisi yang telah terdidik untuk menjadi seorang lelaki. Aku di ajar cara berburu, memancing, berkelahi dan gayaku tergolong sangat jauh dari Genderku. Aku sangat risih bila ibuku memintaku mengunakan gaun atau hal semacamnya. Aku merasa tidak nyaman. Aku memilih mengunakan celana panajng atau pendek saja. Sejak saat itu aku merasa, aku seharusnya tidak di lahirkan sebagai seorang perempuan.
Beberapa tahun kemudian, tempat pengungsian kami di bom oleh musuh. Dan tragedi bom itu, menewaskan ibuku dan kakak keduaku. Kini aku hidup bersama kakak pertama ku. Sungguh di sayangkan, kakak ku ini semakin hari semakin mengada-ngada. Aku didik untuk menjadi lelaki agar bisa membantunya. Rambutku dipotong bob, dia juga membuang baju – baju perempuan yang ibuku jahit dan belikan bagiku. Dia hanya memberikanku baju bekasnya. “kamu mau jadi apa jika mereka mengetahui kamu seorang wanita ?. kamu tidak pantas dijadikan wanita, jika kamu ingin hidup berubahlah dari sekarang. Ikuti keinginanku” singgung kakak ku dan pergi meninggalkanku sendirian di dalam kamar.   Pada saat itu, pemerintah berbaik hati memulangkan ayahku karena ibu kami yang telah meninggal. Barangkali, mereka berpikir siapakah yang akan menghidupkan keluarga kami ? dan itu adalah keuntungan bagiku.
Ayahku memanggilku Daniel. Dia tidak setujuh memanggilku Daniella, Ella, atau Rossie. Semenjak ayahku pulang dari medan tempur. Aku dipaksa bekerja sebagai buruh, aku mengangkat barang di stasiun kereta api dengan upah yang pas – pasan. Sementara jika kakakku pulang, ia merampas seluruh uang itu untuk berfoya-foya. Sementara ayah, bekerja di sebagai penjual ikan dengan upah yang terbilang sedikit dan malah ayah selalu pulang hanya membawa ikan dan jarang sekali membawa pulang upah. Padahal, aku sangat ingin bersekolah. “sudahlah Daniel, kamu berbeda dengan teman-temanmu. Kamu tidak perlu sekolah. Ayah akan membelikanmu buku saja, ayah yakin kamu bisa belajar di rumah” ucap ayah kepadaku yang selalu menenangkan hatiku. “baiklah,… aku bisa belajar sendiri. Aku pasti bisa” jawabku dengan mata sedikit berkaca-kaca dan raut mukaku pun kecewa.
Sudah berhari – hari aku bekerja dan bekerja namun, kakakku selalu saja berulah. Saat ulang Tahunku. Dia datang membawa penyakit bagi keluarga, dia memukuli ayah dengan besi karena tiada orang yang memberikannya uang. Hal itu membuatku membencinya, aku sedang ulang tahun yang ke-7 bisakah dia memberikanku senyum kecil. Dan jawabannya tidak. Dia bagaikan srigala di tengah kota yang liar, bagai kuda lepas kandang. Aku semakin emosi melihat hal itu. Ohh yah,.. saat ulang tahun itu pula, ayah membelikanku buku hitungan seperti fisika, matematika dan astronomi. Saat umur itu pula, aku selalu ke sekolah dasar dekat tempat tinggal kami dan mulai mengintip di jendala. Aku berharap dapat mengenal huruf dari hal itu.
Hari demi hari aku lewati dengan bekerja, jika ada waktu luang aku akan berkunjung ke sekolah dasar itu untuk melihat cara mereka mengenal huruf. Pada saat itu, sekolah adaalh hal yang sangat mahal. Ayahku saja tidak sampai sarjana, dia hanya tamatan sekolah menengah atas. Padahal, ayah orang yang tergolong pintar.  Selang 6 bulan kemudian, aku mulai bisa membaca. Padahal, tiada orang di rumah yang bisa mengajariku. Aku berusaha sendiri. Aku mencari ilmu kesana-kemari, hingga aku mengerti akan hal-hal itu.
Saat usiaku 9 tahun, ayah meninggal dan tetangga kami membawaku ke panti asuhan khusus anak perempuan yang ada di kotaku. Dan pada saat itu, aku mengenal sekolah. Menurut ibu panti, seharusnya aku sudah kelas 5 sekolah dasar atau primer school. Tapi apa boleh buat, keluarga kami dahulu ekonominya sangat pas-pasan, dan tidak memungkinkan aku sekolah. Akhirnya, aku mengikuti ujian demi ujian agar aku langsung masuk ke kelas 5. Bagiku, ujian itu tidaklah sulit. Bagiku, itu tiada apa-apanya. Mungkin berkat buku-buku yang ayah belikan padaku. Sangatlah mengheranakan, hasil ujianku sanagt baik dan memungkinkanku untuk naik ke kelas 5. Aku sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang di berikannya. Namun, tiada seorangpun di panti asuhan yang ingin berteman denganku. Mereka berpendapat aku berbeda dari mereka. Aku berusaha untuk berbiasa-biasa saja tentang hal itu, aku berusaha stabil, tenang dan normal.
Saat aku memasuki jenjang sekolah menengah atas, tepatnya saat aku kelas 1. Salah satu instansi pesawat luar angakas mencariku de sekolah. Mereka mewawancariku.
“apakah wanita dapat menjadi Astronot ?” Tanya mereka
“kurasa, tidak” jawabku
                “kami akan mewujudkan mimpimu itu, dan menjadikan wanita sebagai Astronot”
“baiklah”

                Aku hanya bisa sekedar menjawab dengan biasa saja karena bagiku, itu hal yang sedikit gila  dan aneh. Bagiku, wanita Astronot ? apakah mereka gila ? hal itu tidak akan ada.
                Seminggu kemudian, instansi tersebut datang menjemputku dipanti asuhan, mereka memintaku untuk tidak membawa apapun kecuali baju untuk digunakan dan kacamata yang selalu setia menempel di mataku.
                Awal pelatihan kami di instansi tersebut, kami di berikan soal-soal tentang fisika, astronomi dan matematika. Bagi wanita lain, hal itu susah. Ada diantara mereka membawa contekan. Hasilnya, mereka di keluarkan dalam test pertama mereka. Pelatihan kedua kami, kami di uji kemampuan fisik kami. Kami disuruh berlari selama berjam-jam. Wanita lainnya hanay dapat berlari selama 30 menit sedangkan aku menhabiskannya dalam 2,45 jam dan terkadang 3 jam pun aku tempuh. Pelatihan ketiga kami, kami di berikan tontonan 3D, mereka memberikanku lensa mata. Wanita lain saat menonoton film itu dalam beebrapa menit saja sudah muntah. Sedangkan aku tidak, aku dapat bertahan sampai film itu dimatikan. Rasanya, itu adalah hal baru yang dapat aku tonton dan baru pertama kalinya aku melihat hal seindah itu. Gambarnya begitu terlihat asli dan rasanya dapat disentuh oleh jemari. Kasehatan kami dicek secara berkala. Dan menurut dokter aku adalal pasien yang sangat baik kondisi fisik, mental dan memiliki control emosi yang baik. Dan aku rasa itu keuntungan bagiku barangkali, aku memang memiliki cita-cita menjadi astronot dengan masa depan yang tergolong sangat amat cerah.

--- Bersambung----